Ngonthel
Karya: Setia
Panas di siang
hari terusir dengan tetesan air yang sekejap membasahi bumi. Seragam putih
abu-abu ku mulai basah pula. Ku kurangi
laju sepeda motorku dan berhenti di
sebuah toko yang disegel pintunya. Aku
menengok ke arah langit. Terlihat suram dan menakutkan. Disitulah aku teringat
masa kecil bersama bapak ku.
**
Aku masih ingat
dengan jelas pengalaman 12 tahun silam. Ketika aku masih duduk di bangku TK dan
usia bapakku saat itu 45 tahun. Bapakku bukan seorang pegawai negeri atau
karyawan, melainkan seorang pemulung.
Saat itu bukanlah
bulan libur anak-anak sekolah. Namun, orang-orang pergi rekreasi ke Taman
Kartini (Dampo Awang Beach) yang tengah nge-hits
saat itu . Hampir seluruh anak tetangga yang seumuran denganku pergi ke sana.
Bahkan setiap kali aku pulang sekolah bersama ibuku, ditanyai oleh tetangga
kapan aku pergi ke taman? Hatiku sakit dan ingin menangis, karena mustahil
untuk pergi. Bapak ku tidak punya sepeda motor dan mengendarainya saja tidak
bisa.
Aku bermain di
halaman rumah dan menunggu bapak pulang. Yaaa tentunya meminta untuk diantar ke
taman rekreasi. Saat aku merengek, dia dengan tersenyum mengatakan bahwa kami
akan ke taman besok siang. Aku senang dan seolah-olah ingin mengumumkan ke
tetangga kalau akan segera ke taman bersama bapak.
Hari yang
kutunggu akhirnya tiba. Seperti biasa aku menunggu bapak pulang bekerja. Ibu memandikanku
dan dipilihkan olehnya baju warna merah kesukaanku. Tak lama kemudian bapakku
pulang dan bersiap-siap karena telah kutunggu.
Bapak membantuku
naik di boncengan belakang seraya mengikat kedua kaki ku ke depan supaya aman.
Kami pamit kepada ibu dan iapun mulai menggoes sepeda dengan santai. Jarak dari
desaku ke kota kurang lebih 8 KM. Dan itupun ia tempuh menggunakan sepeda
onthelnya demi kebahagiaanku.
Di perjalanan aku
bernyanyi lagu anak-anak yang diajarkan guru TK ku. Saat aku mulai mengantuk,
bapak berbicara kepadaku supaya kantukku hilang dan menikmati pemandangan di
jalan raya. Setiap kali ada delman lewat, ataupun sesuatu yang belum pernah
kulihat di desa diberitahukan padaku.
Sampailah di
taman rekreasi. Bapakku turun dan menuntun sepeda dengan aku yang masih duduk
di boncengan bak putri raja. Iapun merogoh saku dan mengeluarkan uang untuk
membeli tiket masuk. Setelah itu menaiki kembali sepeda dan masuk ke taman.
Aku sangat senang
hari itu. Sambil berjalan, bapak memegang tanganku. Suasana saat itu ramai.
Banyak pengunjung yang berjalan-jalan, anak-anak yang menikmati permainan
seperti komedi putar yang indah, dan aktivitas pengunjung lainnya.
Sambil duduk di
dermaga, bapakku juga bercerita tentang Dampo Awang yang memiliki kapal besar
dan terkenal di kota ku. Saat itu jangkar raksasa milik Dampo Awang belum
ditemukan dan dipamerkan di taman seperti sekarang ini. Selayaknya anak kecil,
akupun meminta jajanan yang ditawarkan pedagang yang ada di lokasi. Aku membeli
es blender, telur puyuh rebus, dan topi merah dengan bolong di bagian atasnya .
“Ayo, kita naik
perahu,” kata bapakku. Akupun mengangguk karena kupikir menyenangkan. Namun
ketika sudah naik, aku menangis karena takut gelombang laut. Akhirnya bapak
menggendongku keluar perahu.
Matahari sudah
condong ke arah barat. Bapak memutuskan untuk mengajakku pulang. Akupun sudah
puas dan mempunyai pengalaman jika ditanya orang-orang tentang taman rekreasi
yang juga mereka kunjungi.
***
Hujanpun sudah
reda, perlahan warna biru langit mulai muncul. Aku bergegas untuk pulang. Dari
12 tahun yang lalu bisa menjadi pelajaran penting bagiku. Bapakku melakukan apa
saja demi kebahagiaan anaknya. Bahkan dia yang dahulu tidak bisa membeli sepeda
motor, kini ia bisa membelikanku sepeda motor. Terimakasih bapak, semangat
onthelmu membawa kesuksesanku.
mantav mpak
BalasHapusThanks mpak udah baca
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus