Jumat, 14 April 2017

Cerpen perjuangan ayah | Ngonthel Rembang

Ngonthel
Karya: Setia

Panas di siang hari terusir dengan tetesan air yang sekejap membasahi bumi. Seragam putih abu-abu ku mulai basah pula.  Ku kurangi laju sepeda motorku dan berhenti di
sebuah toko yang disegel pintunya. Aku menengok ke arah langit. Terlihat suram dan menakutkan. Disitulah aku teringat masa kecil bersama bapak ku.
**
Aku masih ingat dengan jelas pengalaman 12 tahun silam. Ketika aku masih duduk di bangku TK dan usia bapakku saat itu 45 tahun. Bapakku bukan seorang pegawai negeri atau karyawan, melainkan seorang pemulung.

Saat itu bukanlah bulan libur anak-anak sekolah. Namun, orang-orang pergi rekreasi ke Taman Kartini (Dampo Awang Beach) yang tengah nge-hits saat itu . Hampir seluruh anak tetangga yang seumuran denganku pergi ke sana. Bahkan setiap kali aku pulang sekolah bersama ibuku, ditanyai oleh tetangga kapan aku pergi ke taman? Hatiku sakit dan ingin menangis, karena mustahil untuk pergi. Bapak ku tidak punya sepeda motor dan mengendarainya saja tidak bisa.

Aku bermain di halaman rumah dan menunggu bapak pulang. Yaaa tentunya meminta untuk diantar ke taman rekreasi. Saat aku merengek, dia dengan tersenyum mengatakan bahwa kami akan ke taman besok siang. Aku senang dan seolah-olah ingin mengumumkan ke tetangga kalau akan segera ke taman bersama bapak.

Hari yang kutunggu akhirnya tiba. Seperti biasa aku menunggu bapak pulang bekerja. Ibu memandikanku dan dipilihkan olehnya baju warna merah kesukaanku. Tak lama kemudian bapakku pulang dan bersiap-siap karena telah kutunggu.

Bapak membantuku naik di boncengan belakang seraya mengikat kedua kaki ku ke depan supaya aman. Kami pamit kepada ibu dan iapun mulai menggoes sepeda dengan santai. Jarak dari desaku ke kota kurang lebih 8 KM. Dan itupun ia tempuh menggunakan sepeda onthelnya demi kebahagiaanku.

Di perjalanan aku bernyanyi lagu anak-anak yang diajarkan guru TK ku. Saat aku mulai mengantuk, bapak berbicara kepadaku supaya kantukku hilang dan menikmati pemandangan di jalan raya. Setiap kali ada delman lewat, ataupun sesuatu yang belum pernah kulihat di desa diberitahukan padaku.

Sampailah di taman rekreasi. Bapakku turun dan menuntun sepeda dengan aku yang masih duduk di boncengan bak putri raja. Iapun merogoh saku dan mengeluarkan uang untuk membeli tiket masuk. Setelah itu menaiki kembali sepeda dan masuk ke taman.

Aku sangat senang hari itu. Sambil berjalan, bapak memegang tanganku. Suasana saat itu ramai. Banyak pengunjung yang berjalan-jalan, anak-anak yang menikmati permainan seperti komedi putar yang indah, dan aktivitas pengunjung lainnya.  
Sambil duduk di dermaga, bapakku juga bercerita tentang Dampo Awang yang memiliki kapal besar dan terkenal di kota ku. Saat itu jangkar raksasa milik Dampo Awang belum ditemukan dan dipamerkan di taman seperti sekarang ini. Selayaknya anak kecil, akupun meminta jajanan yang ditawarkan pedagang yang ada di lokasi. Aku membeli es blender, telur puyuh rebus, dan topi merah dengan bolong di bagian atasnya .

“Ayo, kita naik perahu,” kata bapakku. Akupun mengangguk karena kupikir menyenangkan. Namun ketika sudah naik, aku menangis karena takut gelombang laut. Akhirnya bapak menggendongku keluar perahu.
Matahari sudah condong ke arah barat. Bapak memutuskan untuk mengajakku pulang. Akupun sudah puas dan mempunyai pengalaman jika ditanya orang-orang tentang taman rekreasi yang juga mereka kunjungi.

***
Hujanpun sudah reda, perlahan warna biru langit mulai muncul. Aku bergegas untuk pulang. Dari 12 tahun yang lalu bisa menjadi pelajaran penting bagiku. Bapakku melakukan apa saja demi kebahagiaan anaknya. Bahkan dia yang dahulu tidak bisa membeli sepeda motor, kini ia bisa membelikanku sepeda motor. Terimakasih bapak, semangat onthelmu membawa kesuksesanku.



3 komentar: