Kembali
Karya: Setia
Karya: Setia
PLAK!! Suara
tanganku yang menampar tangan Arka terdengar menggema di ruang kelas. Dia memang menyebalkan. Es krim yang
sengaja ku simpan di laci meja dia makan tanpa minta izin terlebih dahulu. Tanpa
perasaan bersalah, dia malah tertawa dan kembali duduk di tempatnya. Kebetulan
bangkunya ada di belakangku. Tak hanya memakan es krim ku, selama mengaji sore itu dia
juga terus menarik jilbabku dari belakang. Untung saja tidak lepas dari kepalaku. Selama mengaji di madrasah, aku selalu di jahili olehnya. Awalnya menyebalkan, tapi lama-lama aku terbiasa dan menganggapnya lelucon.
juga terus menarik jilbabku dari belakang. Untung saja tidak lepas dari kepalaku. Selama mengaji di madrasah, aku selalu di jahili olehnya. Awalnya menyebalkan, tapi lama-lama aku terbiasa dan menganggapnya lelucon.
Sore itu Arka berbeda
dari biasanya. Dia tidak menunjukkan kejahilannya, malahan mukanya terlihat fokus menyimak Pak Ustad memberikan ceramah. Selesai mengaji, aku kembali merasa sebal. Sandal
jepitku hilang sebelah dan aku berfikir bahwa itu pasti ulah si Arka. Siapa lagi coba yang jahil kalau bukan Arka? Aku mencari
ke tempat sampah, dibalik pohon, di bawah pot bunga, hmmm tapi tidak ada juga rupa
sandalku.
“Uhuk..uhuk.., Lagi
nyari apa?” kata seseorang yang mengagetkanku. Dan aku kenal, suara itu adalah
suara Arka, si tukang jahil. Belum lama ini aku mengabaikannya, tapi hari ini
dia kembali melakukan hal yang kelewatan.
“
Kembalikan sandalku! Atau akan aku laporkan ke Pak Ustad,” kataku mengancam.
“ Lebih baik
aku bantu mencari. Bukankah tidak baik kalau berburuk sangka sama orang?” Dia
tersenyum dan sepertinya memang bukan Arka pelakunya.
Aku dan Arka mencari
bersama, sampai akhirnya dia menunjuk ke atas pohon mangga. “ Itukah sandalmu?”
Aku mengangguk lalu menggoyangkan pohon itu dengan tujuan sandalku bisa jatuh.
Namun, Arka menertawakanku dan iapun
memanjat pohon. “Tangkap!” kata Arka seraya melemparkan sandal ke arahku.
Warna senja mulai
terlihat. Tidak terasa selama itu Arka menemaniku mencari sandal. Aku terdiam
menunggunya turun dari pohon. Aku merasa bersalah karena sudah menuduhnya.
“Arka,
maaf ya. Tadi aku nuduh kamu yang tidak-tidak,”
“Gak
apa-apa kok. Eh, pulang bareng ya? Aku boncengin deh. Kamu jalan kaki kan?”
“Ah, iya. Terimakasih”
Jalan pulang bersama Arka
sore itu benar-benar mengasyikkan. Bahkan, burung-burung senja semakin keras
bersiul mengiringi perjalanan kami.
Aku tidak menyangka
kalau sore itu hari terakhir arka di madrasah. Ia tidak menyelesaikan ngajinya sampai
akhirus sanah ( Seperti kegiatan perpisahan sekolah ). Padahal aku ingin
melihat dia naik panggung bersamaku saat menerima penghargaan. Aku merasa kehilangan orang
yang menggangguku. Bahkan, ia benar-benar tidak datang di malam acara
akhirussanah. Arka kamu di mana?
**
Jariku tergigit ketika
makan biskuit. Aku melamunkan kejadian empat tahun yang lalu di madrasah. Aku
merindukan nya. Arka tidak terlihat selama itu. Meskipun kami tinggal satu
desa, aku tidak pernah berjumpa dengannya. Ketika asyik bernostalgia, seseorang
mengetuk pintu rumahku. Akupun keluar untuk menemuinya. Ternyata itu Tinuk,
sahabatku. Ia datang untuk mengajakku hadir di perkemahan madrasah..
Malam harinya, aku
bersiap dan segera menjemput tinuk, tak lupa pamit ke orang tua. Wah, ternyata
bukan aku dan tinuk saja, tetanggaku yang anak nya ikut kemah juga ikut hadir.
Kami pun ramai-ramai ke bumi perkemahan.
Lima belas menit
perjalanan dari desa ke perkemahan. Sampai di lokasi, sudah nampak ramai
persiapan untuk pentas seni. Kami pergi ke basecamp madrasah Nurul Huda. Di
sana pada sibuk bersiap, ada yang make up-in pemain drama, makan malam, bahkan
ada yang latihan berdialog untuk pementasan.
Pentas seni adik-adik
dimulai. Semua orang berkerumun di bawah panggung untuk menyaksikan acara itu.
Mataku tertuju pada seseorang yang tak asing lagi bagiku. Aku mengamatinya
diam-diam. Dia sedang berdiri bersama ketiga temannya sambil menyaksikan
pertunjukan adik-adik.
Jantungku berdetak tak
karuan. Telapak tanganku sudah basah kuyup oleh keringat dan mulai tersenyum
sendiri. Sahabatku yang menyadari hal itu pun menepuk pundak ku dan menanyakan
apa yang terjadi. Aku pun bilang kalau ada seseorang yang aku perhatikan.
Dialah Arka. Aku senang dan rasanya ingin berteriak memanggil namanya. Lalu, bagaimana dia muncul tiba-tiba seperti ini?
“Eh, kalau berani
samperin sana! Aku dukung dari sini, hihihi,” kata sahabatku seraya nyengir
menantang. Aku menerima tantangan itu tapi
tidak langsung bertindak melainkan berdiri dan mengumpulkan mental
sejenak. Kulihat sahabatku yang sudah memberi kode dan semangat. Aku pun
membenarkan jilbab yang kurang rapi sebelumnya.
“Arka!!! Sudah empat
tahun gak ketemu ya?” Kataku. Arka menoleh dan baru menyadari kalau aku
sudah berdiri di sampingnya. Matanya berbinar, bibirnya yang tipis menorehkan
keindahan senyuman. Aku segera menghindari kontak mata dengan nya, karena
takut pingsan.
Arka mengajakku menepi dari kerumunan orang untuk mencari makanan. Dia berjalan terlebih dahulu dan aku mengekornya. Tiba-tiba dia berhenti dan mengambil posisi disampingku. Hatiku terus bertanya,
kemanakah ia selama ini? Sepanjang perjalanan, kami terdiam dan berbicara lagi
ketika sampai di warung bakso. Ia pun memesan, kuperhatikan tak banyak yang
berubah dari Arka. Aku harap malam ini tidak seperti sore itu. Hari ketika Arka
tiba-tiba menghilang dari kehidupanku.
“Mungkin kita bisa komunikasi pake WA?” usul Arka yang tiba-tiba memecah suasana.
“Iya benar. Kamu tahu?
Aku tidak mau kehilangan kamu seperti saat itu, tanpa pamit ke aku,” Oops, aku
keceplosan. Arka tertawa melihatku tersipu setelah mengatakan itu. Tiba-tiba
hpnya berbunyi. Diapun menepi untuk menggangkat panggilan itu.
“Siapa?”
tanyaku penasaran.
“Ada deh. Cepetan di
makan bakso nya,” jawab Arka sembari menusuk bakso di mangkok ku.
Hanya
basa-basi sepanjang malam itu. Aku masih menyembunyikan fakta kalau aku merindukan
dia selama itu. Diapun sama, tidak mengatakan apapun. Aku tidak berani
mengambil langkah untuk memulainya. Seusai acara itu, kami pun pulang terpisah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar