Minggu, 20 Agustus 2017

Cerpen terbaru ! Cerita Untuk Ibu dan Bapak

Al-Fatihah di Keningku
Oleh: Setia Yu Ta

Aroma seduhan kopi sore itu tercium nikmat di hidungku. Baru saja azan asar berkumandang, tubuhku masih terkulai lemas di tempat tidur. Mungkin kalau tak mencium aroma kopi aku masih belum bangun juga. Dengan terseok-seok kulangkahkan kaki ku keluar kamar dan menuju dapur mengikuti kebulan asap yang seolah menuntunku ke sana. Emak, kulihat dia

meniup perlahan cangkir yang mengebul.

“Sore-sore sudah buat kopi, Mak?” tanyaku dengan sedikit menguap.
“Kamu mau? Masih ada sisa air panas tadi,” kata emak sambil menyeruput kopi nya. Tanpa menjawab, aku pun menyiapkan kopi hitam sendiri.

Sebenarnya aku tak rela meninggalkan mak dan bapak sendiri. Bagaimanapun juga esok hari aku harus pergi karena ada panggilan kerja di luar kota. Aku melihat mata mak yang sedikit berair, firasatku ia menahan tangis. Dentingan sendok dan cangkir kopi ku terdengar nyaring  karena saking sunyinya. Aku pun keluar untuk menonton tv. Belum jauh langkah ku keluar dari dapur, ku dengar suara isak tangis. Aku mengintip dari pintu dan melihat mak sudah tersedu meski sesekali mengusap air mata nya.  Aku ingin menghiburnya, namun aku tak bisa. Kenapa? Aku pun tak tau. Kemudian aku beranjak untuk tidak ikut menangis.

Suara musik dan dialog orang-orang di tv terasa monoton bagiku. Ditemani secangkir kopi hitam hangat kucoba menikmati suasana sore itu.
“Mbak...! mbak…!” seseorang memanggilku dari luar.
“Iya, aku di rumah.” Jawabku setengah berteriak. Diapun masuk dan duduk di sebelahku. Dia sepupuku, namanya Fatma. Seperti biasa pula, dia sering datang ke rumah untuk belajar kalau tidak ya sekadar curhat tentang gebetannya. Namun sore itu berbeda, dia datang ke rumah untuk melihatku sebelum pergi merantau.
“Sudah selesai packing-nya?” Tanya fatma sambil menyilangkan kakinya.
“Sudah kok. Beres semua, kalo mau lihat tuh tas ku di kamar. Tapi jangan kaget loh” kataku sambil  meneguk kopi sampai habis.
“Kenapa kok gak boleh kaget?”
“Tasku gede, udah kayak orang mau pindahan.”
“Hahaha” aku dan fatma tertawa bersama.

Malam harinya, aku sibuk bercengkerama dengan keluarga besar ku. Semua berkumpul untuk ku. Satu per satu saudaraku datang ke rumah. Ada yang nambah uang saku ada pula yang memberi ku doa, bahkan semuanya memberiku pesan-pesan yang sama. Tentu saja aku harus bisa jaga diri karena jauh dari orang tua. Aku merasa termotivasi dan lebih semangat berjuang untuk hari ke depan, supaya mereka yang mendukungku tidak kecewa.

Malam itu pun aku masih belum bisa mengutarakan niatku, yaitu untuk mengucapkan kata maaf kepada mak dan bapakku. “MAAF” satu kata yang terasa berat lisanku mengucapkannya.
Setelah orang-orang pulang, aku masuk ke kamar. Aku duduk sambil melihat-lihat dinding kamar yang penuh dengan tempelan dan coretan karyaku. “Sebentar lagi aku akan pergi dan mungkin akan lama untuk kembali ke kamar ini lagi,” batinku. Pintu kamar ku menderit dan terbuka perlahan.
“Sudah selesai semua kan? Cek lagi kalau ada yang lupa,” kata mak ku dengan penuh perhatian.
“Sudah, Mak. Aman kok,”
“Mi instan di dapur masih banyak, kalau mau kamu bawa sekalian sama jajan dari rumah sakit kemarin.”
“Ya, tadi udah ambil satu plastik jajan nya. Besok aku harus bangun jam satu pagi aku mau tidur ya, Mak,” Kataku.

Aku pun berbaring dan memejamkan mata. Aku kembali membuka mata sesaat setelah mak ku menutup pintu kamar. Ku rapatkan gigi-gigiku untuk menahan tangis. Aku melihat bungkusan plastik yang berisi jajan dari mak ku. Sebenarnya itu jajan dari tetangga yang menjenguk mak ku waktu di rumah sakit. Seminggu yang lalu mak baru sembuh dari sakit dan aku menyesal tidak menemaninya selama di rumah sakit. *Oh tidak! Jangan menangis* Semakin ku mencoba memejamkan mata semakin tercekit rasanya. Namun, perlahan rasa kantuk pun datang. Aku tertidur.

Pukul 00.30 WIB aku bangun tidur dan segera mandi. Angin malam yang menghembus terasa dingin ditambah air di kamar mandi yang dinginnya menusuk tulang sehingga aku tak bisa lama-lama di kamar mandi. Selesai mandi, aku bergegas ganti baju dan bersiap. Ku lihat mak dan bapak ku sudah duduk di kursi. “ Wew? Kapan bangunnya?” kataku dalam hati.

Aku masuk ke kamar dan menelfon kakak ku untuk segera datang ke rumah. Sambil menunggu kakak datang, aku duduk bersama orang tuaku di ruang tamu. Tak lama kemudian kakak ku datang dengan wajah yang terlihat masih mengantuk. Aku berdiri dan mencium tangan bapak ku terlebih dahulu. Ku lihat matanya yang merah dan berkaca-kaca seolah-olah menyembunyikan kesedihannya. Ya meskipun bapak yang menguatkan ku selama ini, yang namanya orang tua pasti akan sedih kalau ditinggal anaknya. Kemudian aku mencium tangan mak ku, dan saat itu tangisnya kembali pecah. Mak mendoakan ku dan membaca surat al-fatihah di keningku. Meski di iringi suasana haru, aku mencoba menguatkan hati untuk tidak menangis di hari pertama ku jauh dari orang tua. Tunggu kepulangan ku untuk menjadi orang sukses, fam !!!





Tidak ada komentar:

Posting Komentar