Al-Fatihah di Keningku
Oleh: Setia Yu Ta
Aroma
seduhan kopi sore itu tercium nikmat di hidungku. Baru saja azan asar
berkumandang, tubuhku masih terkulai lemas di tempat tidur. Mungkin kalau tak
mencium aroma kopi aku masih belum bangun juga. Dengan terseok-seok
kulangkahkan kaki ku keluar kamar dan menuju dapur mengikuti kebulan asap yang
seolah menuntunku ke sana. Emak, kulihat dia
meniup perlahan cangkir yang
mengebul.
“Sore-sore sudah buat kopi, Mak?” tanyaku dengan sedikit menguap.
“Kamu mau? Masih ada sisa air panas tadi,” kata emak
sambil menyeruput kopi nya. Tanpa menjawab, aku pun menyiapkan kopi hitam sendiri.
Sebenarnya aku tak rela meninggalkan mak dan bapak
sendiri. Bagaimanapun juga esok hari aku harus pergi
karena ada panggilan kerja di luar kota. Aku melihat mata mak yang sedikit berair,
firasatku ia menahan tangis. Dentingan sendok dan cangkir kopi ku terdengar
nyaring karena saking sunyinya. Aku pun
keluar untuk menonton tv. Belum jauh langkah ku keluar dari dapur, ku dengar
suara isak tangis. Aku mengintip dari pintu dan melihat mak sudah tersedu meski
sesekali mengusap air mata nya. Aku
ingin menghiburnya, namun aku tak bisa. Kenapa? Aku pun tak tau. Kemudian aku beranjak untuk tidak ikut menangis.
Suara
musik dan dialog orang-orang di tv terasa monoton bagiku. Ditemani secangkir
kopi hitam hangat kucoba menikmati suasana sore itu.
“Mbak...! mbak…!” seseorang memanggilku dari luar.
“Iya, aku di rumah.” Jawabku setengah berteriak.
Diapun masuk dan duduk di sebelahku. Dia sepupuku, namanya Fatma. Seperti biasa
pula, dia sering datang ke rumah untuk belajar kalau tidak ya sekadar curhat
tentang gebetannya. Namun sore itu berbeda, dia datang ke rumah untuk melihatku
sebelum pergi merantau.
“Sudah
selesai packing-nya?” Tanya fatma
sambil menyilangkan kakinya.
“Sudah
kok. Beres semua, kalo mau lihat tuh tas ku di kamar. Tapi jangan kaget loh”
kataku sambil meneguk kopi sampai habis.
“Kenapa
kok gak boleh kaget?”
“Tasku
gede, udah kayak orang mau pindahan.”
“Hahaha” aku dan fatma tertawa bersama.
Malam
harinya, aku sibuk bercengkerama dengan keluarga besar ku. Semua berkumpul
untuk ku. Satu per satu saudaraku datang ke rumah. Ada yang nambah uang saku
ada pula yang memberi ku doa, bahkan semuanya memberiku pesan-pesan yang sama.
Tentu saja aku harus bisa jaga diri karena jauh dari orang tua. Aku merasa
termotivasi dan lebih semangat berjuang untuk hari ke depan, supaya mereka yang
mendukungku tidak kecewa.
Malam itu pun aku masih belum bisa mengutarakan
niatku, yaitu untuk mengucapkan kata maaf kepada mak dan bapakku. “MAAF” satu
kata yang terasa berat lisanku mengucapkannya.
Setelah
orang-orang pulang, aku masuk ke kamar. Aku duduk sambil melihat-lihat dinding kamar
yang penuh dengan tempelan dan coretan karyaku. “Sebentar lagi aku akan pergi
dan mungkin akan lama untuk kembali ke kamar ini lagi,” batinku. Pintu kamar ku
menderit dan terbuka perlahan.
“Sudah
selesai semua kan? Cek lagi kalau ada yang lupa,” kata mak ku dengan penuh
perhatian.
“Sudah, Mak. Aman kok,”
“Mi
instan di dapur masih banyak, kalau mau kamu bawa sekalian sama jajan dari
rumah sakit kemarin.”
“Ya, tadi udah ambil satu plastik jajan nya. Besok
aku harus bangun jam satu pagi aku mau tidur ya, Mak,” Kataku.
Aku pun berbaring
dan memejamkan mata. Aku kembali membuka mata sesaat setelah mak ku menutup
pintu kamar. Ku rapatkan gigi-gigiku untuk menahan tangis. Aku melihat
bungkusan plastik yang berisi jajan dari mak ku. Sebenarnya itu jajan dari
tetangga yang menjenguk mak ku waktu di rumah sakit. Seminggu yang lalu mak
baru sembuh dari sakit dan aku menyesal tidak menemaninya selama di rumah
sakit. *Oh tidak! Jangan menangis* Semakin ku mencoba memejamkan mata semakin
tercekit rasanya. Namun, perlahan rasa kantuk pun datang. Aku tertidur.
Pukul 00.30 WIB aku bangun tidur dan segera mandi.
Angin malam yang menghembus terasa dingin ditambah air di kamar mandi yang
dinginnya menusuk tulang sehingga aku tak bisa lama-lama di kamar mandi.
Selesai mandi, aku bergegas ganti baju dan bersiap. Ku lihat mak dan bapak ku
sudah duduk di kursi. “ Wew? Kapan bangunnya?” kataku dalam hati.
Aku masuk ke kamar dan menelfon kakak ku untuk
segera datang ke rumah. Sambil menunggu kakak datang, aku duduk bersama orang
tuaku di ruang tamu. Tak lama kemudian kakak ku datang dengan wajah yang
terlihat masih mengantuk. Aku berdiri dan mencium tangan bapak ku terlebih
dahulu. Ku lihat matanya yang merah dan berkaca-kaca seolah-olah menyembunyikan
kesedihannya. Ya meskipun bapak yang menguatkan ku selama ini, yang namanya
orang tua pasti akan sedih kalau ditinggal anaknya. Kemudian aku mencium tangan
mak ku, dan saat itu tangisnya kembali pecah. Mak mendoakan ku dan membaca
surat al-fatihah di keningku. Meski di iringi suasana haru, aku mencoba
menguatkan hati untuk tidak menangis di hari pertama ku jauh dari orang tua. Tunggu
kepulangan ku untuk menjadi orang sukses, fam
!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar